A.
Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan
Banyak tuduhan dialamatkan kepada sosok
Pendidikan Kewarganegaraan, dan tuduhan itu barangkali juga ada benarnya.
Beberapa tuduhan itu antara lain, Pendidikan Kewarganegaraan sering bersifat
politis dari pada akademis, lemah landasan keilmuannya, tidak tampak sosok
keilmiahannya. Akibat lebih lanjut mata kuliah ini kurang menantang, sehingga
kurang diminati oleh mahasiswa. Kepentingan politik penguasa terhadap
Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dapat
dirunut dalam sejarah
perkembangan mata kuliah/mata pelajaran ini, sejak munculnya dalam sistem
pendidikan nasional. Mata pelajaran ini muncul pertama kali pada tahun 1957
dengan nama Kewarganegaraan, yang
isinya sebatas tentang hak dan kewajiban warga negara, serta cara-cara
memperoleh kewarganegaraan bagi yang kehilangan status kewarganegaraan. Sebagai
tindak lanjut dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Menteri PP dan K mengeluarkan
Surat Keputusan No.122274/s tanggal 10 Desember 1959 tentang pembentukan
panitia penyusunan buku pedoman mengenai kewajiban-kewajiban dan hak-hak warga
negara Indonesia dan hal-hal yang menginsyafkan warga negara tentang
sebab-sebab sejarah dan tujuan Revolusi Indonesia. Panitia tersebut berhasil
menyusun buku Manusia dan Masyarakat Baru
Indonesia pada tahun 1962 yang
menjadi acuan mata pelajaran Civics yang
telah muncul pada tahun 1961. Buku tersebut berisi tentang
(1) Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (2) Pancasila, (3)
UUD 1945, (4) Demokrasi dan Ekonomi
Terpimpin, (5) Konferensi Asia Afrika, (6) Hak dan kewajiban warga negara, (7)
Manifesto Politik, (8) Lampiran Dekrit Presiden, pidato Presiden, Declaration
of Human Rights dan lain-lain yang dipaketkan dalan Tujuh Bahan Pokok
Indoktrinasi (Tubapi).
Sejak munculnya Orde Baru pada tahun
1966, isi mata pelajaran Civics versi
Orde Lama hampir seluruhnya dibuang, karena dianggap sudah tidak sesuai lagi
dengan tuntutan yang sedang berkembang.
Pada kurikulum 1968, mata pelajaran ini muncul dengan nama Kewargaan Negara, yang isinya di samping Pancasila dan UUD 1945,
adalah ketetapan-ketetapan MPRS 1966, 1967, dan 1968, termasuk GBHN, HAM, serta
beberapa materi yang beraspek sejarah, geografi, dan
ekonomi. Sesuai dengan amanat Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973, mata pelajaran ini
berubah nama menjadi Pendidikan Moral
Pancasila (PMP) pada kurikulum 1975. Dengan ditetapkannya Ketetapan
MPR No. II/MPR/1978 tentang P-4, maka
terjadilah perkembangan yang cukup substantif mengenai materi pelajaran ini,
yakni sangat dominannya materi P-4 dalam PMP. Bahkan dalam penjelasan ringkas
tentang PMP oleh Depdikbud (1982) dinyatakan bahwa hakikat PMP tidak lain adalah
pelaksanaan P-4 melalui jalur pendidikan formal. Hal ini tetap berlangsung
hingga berlakunya Kurikulum 1984 maupun Kurikulum1994, dimana PMP telah berubah
nama menjadi PPKN. Dalam perkembangannya yang terakhir, materi P-4 secara resmi
tidak lagi dipakai dalam Kurikulum Suplemen 1999, apalagi.
Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang P-4 telah dicabut dengan Ketetapan
MPR No. XVIII/MPR/1998 (Muchson AR:2003).
Pada era reformasi ini Pendidikan
Kewarganegaraan juga sedang dalam proses reformasi ke arah Pendidikan
Kewarganegaraan dengan paradigma baru (New
Indonesian Civic Education). Reformasi itu mulai dari aspek yang
mendasar, yaitu reorientasi visi dan misi, revitalisasi fungsi dan peranan,
hingga restrukturisasi isi kurikulum dan meteri pembelajaran. Seiring dengan
itu, dalam sistem pendidikan nasional juga sedang disosialisasikan pembaharuan
kurikulum dengan konsep yang
disebut Kurikulum Berbasis
Kompetensi (Competence Based Curriculum) atau disingkat KBK. Penerapan konsep
baru ini tentu saja harus disesuaikan dengan model KBK.
Pendidikan Kewarganegaraan paradigma
baru berorientasi pada terbentuknya masyarakat sipil (sivil society), dengan memberdayakan warga negara melalui proses
pendidikan, agar mampu berperan serta secara aktif dalam sistem pemerintahan
negara yang demokratis. Print et al (1999:25) mengemukakan, civic education is necessary for the building and consolidation of a
democratic society. Inilah visi Pendidikan Kewarganegaraan yang perlu
dipahami oleh dosen dan guru, siswa danmahasiswa, serta masyarakat pada
umumnya. Kedudukan warga negara yang ditempatkan pada posisi yang lemah dan
pasif, seperti pada masa-masa yang lalu, harus diubah pada posisi yang
kuat dan partisipatif. Mekanisme
penyelenggaraan sistem pemerintahan yang demokratis semestinya tidak bersifat top down, melainkan lebih bersifat buttom up. Untuk itulah
diperlukan
pemahaman yang baik dan kemampuan mengaktualisasikan demokrasi di kalangan
warga negara, ini dapat dikembangkan melalui Pendidikan Kewarganegaraan.
Secara klasik tujuan Pendidikan
Kewarganegaraan di Indonesia adalah untuk membentuk warga negara yang baik (a good citizen). Akan tetapi
pengertian warga negara yang baik itu pada masa-masa yang lalu
lebih diartikan sesuai dengan tafsir penguasa. Pada masa Orde Lama, warga
negara yang baik adalah warga negara yang berjiwa
revolosioner, anti imperialisme, kolonialisme, dan neo kolonialisme. Pada
masa Orde Baru ,warga negara yang baik adalah warga negara yang Pancasilais, manusia pembangunan dan
sebagainya. Sejalan dengan visi Pendidikan Kewarganegaraan paradigma baru, misi
mata pelajaran ini adalah meningkatkan kompetensi siswa/mahasiswa agar mampu
menjadi warga negara yang berperan serta secara aktif dalam sistem pemerintahan
yang demokratis.
No comments:
Post a Comment